\\(^^)//


Hei hei !! Selamat Datang Di blog ini..^^ semoga mengedukasi dan menginspirasi yaa ..

Jumat, 10 Januari 2014

Maskulinisasi (Laporan Praktikum)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1       BIOLOGI IKAN NILA
Ikan nila berasal dari Afrika bagian timur. Ikan nila memiliki bentuk tubuh yang pipih ke arah vertikal (compress). Posisi mulutnya terletak di ujung hidung (terminal) dan dapat disembulkan (Suyanto 2003). .

Menurut Saanin (1984), ikan nila (Oreochromis niloticus) mempunyai klasifikasi sebagai berikut:
Filum               : Chordata
Subfilum         : Vertebrata
Kelas               : Osteichtyes      
Subkelas          : Acanthopterygii
Ordo                : Percomorphi
Subordo          : Percoidea
Famili              : Cichlidae
Genus              : Oreochromis
Spesies            : Oreochromis niloticus
Ikan nila memiliki ciri morfologi, yaitu berjari-jari keras, sirip perut torasik, letak mulut subterminal dan berbentuk meruncing. Selain itu, tanda lainnya yang dapat dilihat dari ikan nila adalah warna tubuhnya hitam dan agak keputihan. Bagian bawah tutup insang berwarna putih, sedangkan pada nila lokal, putih agak kehitaman bahkan ada yang kuning. Sisik ikan nila besar, kasar dan tersusun rapi. Sepertiga sisik belakang menutupi sisi bagian depan. Tubuhnya memiliki garis linea lateris yang terputus antara bagian atas dan bawahnya. Line lateralis bagian atas memanjang mulai dari tutup insang hingga belakang sirip punggung sampai pangkal sirip ekor. Ukuran kepalanya relative kecil dengan mulut berada di ujung kepala serta mempunyai mata yang besar (Kottelat et al. 1993). Ikan nila memiliki kemampuan menyesuaikan diri yang baik dengan lingkungan sekitarnya. Ikan ini memiliki toleransi yang tinggi terhadap lingkungan hidupnya, sehingga bisa dipelihara di dataran rendah yang berair payau maupun dataran yang tinggi dengan suhu yang rendah (Trewavas 1986).
Ikan nila dilaporkan sebagai pemakan segala (omnivora), pemakan plankton, sampai pemakan aneka tumbuhan sehingga ikan ini diperkirakan dapat dimanfaatkan sebagai pengendali gulma air.
Ikan ini sangat peridi, mudah berbiak. Secara alami, ikan nila (dari perkataan Nile, Sungai Nil) ditemukan mulai dari Syria di utara hingga Afrika timur sampai ke Kongo dan Liberia; yaitu di Sungai Nil (Mesir), Danau Tanganyika, Chad, Nigeria, dan Kenya. Diyakini pula bahwa pemeliharaan ikan ini telah berlangsung semenjak peradaban Mesir purba.
Telur ikan nila berbentuk bulat berwarna kekuningan dengan diameter sekitar 2,8 mm. Sekali memijah, ikan nila betina dapat mengeluarkan telur sebanyak 300-1.500 butir, tergantung pada ukuran tubuhnya. Ikan nila mempunyai kebiasaan yang unik setelah memijah, induk betinanya mengulum telur-telur yang telah dibuahi di dalam rongga mulutnya. Perilaku ini disebut mouth breeder (pengeram telur dalam mulut).
Karena mudahnya dipelihara dan dibiakkan, ikan ini segera diternakkan di banyak negara sebagai ikan konsumsi, termasuk di pelbagai daerah di Indonesia. Akan tetapi mengingat rasa dagingnya yang tidak istimewa, ikan nila juga tidak pernah mencapai harga yang tinggi. Di samping dijual dalam keadaan segar, daging ikan nila sering pula dijadikan filet.
Ikan ini menjadi hama di seluruh sungai-sungai dan danau di Indonesia ketika di tebar ke dalam sungai dan danau karena ikan ini memakan banyak tumbuhan air dan menggantikian posisi ikan pribumi indonesia, akan tetapi ikan nila masih tetap ditebar oleh pemerintah di sungai-sungai dan danau Indonesia tanpa memperhatikan dampaknya.

2.2       MASKULINISASI
Maskulinisasi ikan nila adalah suatu proses pembentukan jenis kelamin jantan dimana larva-larva ikan nila baru berumur 7-19 hari dirangsang dengan hormon Metil Testosterone (MT) untuk membentuk jenis kelamin jantan.

2.2.1   Alih kelamin
Pada ikan perubahan sifat kelamin individual dimungkinkan terjadi, baik secara alamiah maupun rekayasa. Populasi ikan monosex dapat diperoleh dengan teknik pengalihan jenis kelamin (sex reversal) yang dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu maskulinisasi (Fitzpatrick et al. 1999; Arsenia et al. 2005), feminisasi (Hopkins et al. 1979), ginogenesis dan androgenesis (Shelton et al. 2002). Zairin (2002) menyebutkan bahwa secara harfiah alih kelamin dapat diartikan sebagai suatu teknologi yang membalikkan arah perkembangan kelamin menjadi berlawanan. Dengan penerapan teknologi ini, ikan yang seharusnya berkelamin jantan diarahkan perkembangan gonadnya menjadi betina atau sebaliknya. Aplikasi alih kelamin dapat merubah fenotipe ikan namun genotipenya tidak dapat berubah.
Teknik pengalihan jenis kelamin yang seringkali diantaranya teknik maskulinisasi untuk menghasilkan populasi ikan jantan (all male) dan feminisasi untuk menghasilkan populasi ikan betina (all female). Proses pembentukan jenis kelamin jantan maupun pada betina dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu endogenous hormon, eksogenous hormon dan faktor lingkungan (Massenreng 2007). Lebih lanjut Carman et al. (1998) menyebutkan bahwa secara buatan, teknik alih kelamin dimungkinkan terjadi dikarenakan pada awal perkembangan embrio atau larva belum terjadi diferensiasi kelamin. Metode alih kelamin terdiri dari metode untuk memperoleh populasi monosex yaitu melalui terapi hormon (secara langsung) atupun rekayasa kromosom (cara tidak langsung).
           
2.2.2    Diferensiasi Kelamin
Fase diferensiasi seks pada ikan meliputi seluruh aktivitas yang berhubungan dengan keberadaan gonad, perpindahan awal sel nutfah, kemunculan bagian tepi gonad dan diferensiasi gonad menjadi testis atau ovari (Piferrer 2001). Phelps dan Popma (2000) menyebutkan bahwa pada ikan, diferensiasi seks gonad merupakan proses yang kompleks tidak seperti pada kebanyakan hewan vertebrata lainnya. Selain faktor genetik dan kromosom seks, terdapat faktor lain yang mempengaruhi hasil dari proses akhir perkembangan gonad dan seks fenotipe yang diperoleh yaitu faktor lingkungan. Mekanisme determinasi seks dikontrol oleh gen spesifik yang hanya mengendalikan "initial decision" dari fenotipe gonad, akan tetapi intruksi khusus yang berhubungan langsung dengan proses diferensiasi seks gonad ini dapat ditolak disebabkan oleh berbagai faktor internal dan eksternal (Hayes 1998).
Masa diferensiasi seks ikan sangat beragam tergantung pada spesiesnya. Pada ikan-ikan golongan Ochlids dan Cyprinodontids, fase diferensiasi seks berlangsung antara 10-30 hari setelah penetasan (Pandian dan Sheela 1995). Informasi lain dalam Varadaraj dan Pandian (1987) menyebutkan bahwa untuk Oreochromis mossambicus 11-19 hari, untuk Oreochromis aureus 18-32 hari, untuk Oreochromis niloticus 25 - 59 hari, dan dalam penelitian berlanjut, selama 11 hari dari hari ke-10 setelah penetasan merupakan periode kritis untuk Oreochromis mossambicus. Sedangkan masa diferensiasi kelamin pada ikan mas, Cyprinus carpio terjadi antara hari ke- 9 - 98 setelah penetasan. Keragaman masa diferensiasi ini sangat bergantung pada kondisi periode labil masing-masing spesies ikan, karena efektifitas perlakuan hormon steroid, sangat ditentukan oleh kondisi labil dari masing-masing spesies ikan (Piferrer 2001). Selain itu menurut Pandian dan Sheela (1995) pada beberapa spesies ikan, masa diferensiasi seks dapat dimulai dari periode embrio, larva, juvenil dan bahkan ikan dewasa.

2.2.3    Hormon 17a-metiltestosteron
Hormon merupakan bahan kimia yang disekresikan ke dalam cairan tubuh oleh satu sel atau sekelompok sel dan dapat mempengaruhi fisiologi sel-sel tubuh lainnya.   Sebagian   besar   hormon   disekresikan   oleh   kelenjar   endokrin  danselanjutnya  diangkut oleh darah ke seluruh tubuh. Murray et al. (2003) menyebutkan bahwa hormon mempunyai peranan yang sangat penting dalam pengaturan fisiologi dan umumnya bekerja sebagai aktivator spesifik atau inhibitor dari enzim.
Menurut Sumantadinata dan Carman (1995) pemberian hormon dalam alih kelamin, secara sederhana bertujuan untuk mempengaruhi keseimbangan hormon dalam darah yang pada saat difensiasi kelamin sangat menentukan individu tertentu akan berstatus jantan atau betina dengan cara memasukkannya dari luar tubuh individu. Menurut Hunter serta Donaldson (1983), hormon steroid seksual yang berguna untuk proses pengubahan kelamin antara lain androgen yang terdiri atas testosteron dan metiltestosteron yang memiliki pengaruh maskulinitas, dan estrogen seperti estron serta estradiol yang berpengaruh terhadap feminitas.

2.2.4    Metode Aplikasi Hormon Pada Maskulinisasi
Aplikasi pemberian hormon pada ikan dapat dilakukan dengan cara penyuntikan berkala, perendaman atau secara oral dengan media melalui pakan. Keberhasilan penggunaan hormon steroid bergantung kepada beberapa faktor diantaranya jenis dan umur ikan, dosis hormon yang digunakan, lama waktu pemberian dan cara pemberian hormon (Hunter dan Donaldson 1983).
Mirza dan Shelton (1988) menyebutkan bahwa pada umumnya, cara yang terbaik dan mudah dalam metode pemberian hormon adalah melalui bantuan media berupa makanan, namun cara ini terbatas hanya pada ikan yang telahmampu memakan pakan buatan. Meskipun demikian metode pemberian hormon juga dapat dilakukan melalui pakan alami seperti artemia, moina dan Iain-lain (Arfah 1997). Lebih lanjut Carman et al. (1998) menyebutkan bahwa cara oral dan perendaman merupakan metode dalam aplikasi penggunaan hormon. Pada metode perendaman, agar efektif perlu diperhatikan konsentrasi hormon dan lama waktu perendaman. Konsentrasi hormon yang diberikan tidak boleh berlebihan karena dapat menimbulkan tekanan dalam pembentukan gonad, efek paradoxial, pertumbuhan rendah dan tingkat kematian yang tinggi (Wichins dan Lee 2002). Sedangkan lama waktu perendaman akan lebih singkat jika dosis atau konsentrasi hormon yang digunakan juga sangat tinggi (Hunter dan Donaldson 1983).
Yamazaki (1983) menyatakan bahwa agar hormon steroid berpengaruh lebih efektif, maka waktu penggunaannya harus dilakukan ketika gonad belum berdiferensiasi. Hal ini terjadi karena sensitivitas hormon sangat tinggi terjadi saat sebelum diferensiasi kelamin secara fisiologis dan secara histologis. Untuk itu, perlakuan hormon akan memberikan efek pengarahan jenis kelamin tertinggi jika diberikan tepat sebelum tahap diferensiasi kelamin secara fisiologis. Menurut (Massenreng 2007) perlakuan masa alih kelamin yang diterapkan pada stadia awal, yaitu stadia larva dengan metode perendaman, diharapkan akan terjadi adanya penyerapan hormon melalui insang atau terjadi difusi, sehingga dapat menghambat proses pembentukan estrogen melalui enzim aromatase dengan menggunakan aromatase inhibitor (imidazole) dengan harapan diperoleh ikan dengan jenis kelamin jantan saja.
Hormon androgen bekerja secara umpan balik dalam mengendalikan pelepasan gonadotropin pituitary dan berperan penting dalam diferensiasi serta pembentukan kelamin jantan dan sifat kelamin sekundernya. Androgen masuk ke dalam sel sitoplasma, selanjutnya diikat oleh reseptor khusus. Reseptor ditemukan dalam sitosol yang keberadaannya dipengaruhi oleh androgen. Steroid reseptor komplek (ligan) ini kemudian menuju nukleus dan berikatan dengan akseptor pada genom. Hal tersebut memungkinkan transkripsi spesies baru mRNA   yang   memberikan   kode   untuk   sintesis   protein   tertentu   di   dalam sitoplasma.   RNA bertambah secara nyata terutama dalam fraksi mikrosom, hal ini akan merangsang terjadinya spermatogenesis.
Menurut Donough (1999) dalam Hariani (1997)  menyebutkan bahwa hormon steroid akan mempengaruhi sel target seperti gonad dan saluran otak. Hal ini diduga karena pada saat fertilisasi sudah terbentuk sel kromosom yang apabila diberi hormon testosteron dari luar, maka hormon ini akan merangsang hormon endogen mensintesis steroid untuk pertumbuhan dan perkembangan gonad secara fungsional.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1       HASIL
Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan Nila
Hari ke-
Tanggal
Jumlah Ikan Mati
Jumlah Ikan Hidup
Keterangan
1
26 September 2013
-
50

Ikan masih berukuran kecil, jumlahnya tetap. Tidak ada yang mati
2
27 September 2013
-
50
3
28 September 2013
-
50
4
29 September 2013
-
50
5
30 September 2013
-
50
6
1 Oktober 2013
-
50
7
2 Oktober 2013
-
50
8
3 Oktober 2013
-
50

Minggu ke-2 Ikan mulai terlihat berbeda ukurannya, jumlahnya masih tetap.
9
4 Oktober 2013
-
50
10
5 Oktober 2013
-
50
11
6 Oktober 2013
-
50
12
7 Oktober 2013
-
50
13
8 Oktober 2013
-
50
14
9 Oktober 2013
-
50
15
10 Oktober 2013
-
50
Minggu ke-3 Ikan jumlahnya tetap dan ada perbedaan ukuran tiap ikan.
Ada satu ikan yang abnormal
16
11 Oktober 2013
-
50
17
12 Oktober 2013
-
50
18
13 Oktober 2013
-
50
19
14 Oktober 2013
-
50
20
15 Oktober 2013
-
50
21
16 Oktober 2013
-
50
22
17 Oktober 2013
-
50
Ikan terlihat semakin bertambah besar ukurannya.
23
18 Oktober 2013
-
50
24
19 Oktober 2013
-
50
25
20 Oktober 2013
-
50
26
21 Oktober 2013
-
50
27
22 Oktober 2013
-
50
28
23 Oktober 2013
-
50
29
24 Oktober 2013
-
50
Jumlah ikan masih tetap dan bertambah besar ukurannya.
30
25 Oktober 2013
-
50
31
26 Oktober 2013
-
50
32
27 Oktober 2013
-
50
33
28 Oktober 2013
-
50
34
29 Oktober 2013
-
50
35
30 Oktober 2013
-
50
36
31 Oktober 2013
2
48
Ada dua ikan yang mati
37
1 November 2013
-
48
Jumlah ikan yang tersisa tetap





Jumlah ikan yang tersisa tetap
38
2 November 2013
-
48
39
3 November 2013
-
48
40
4 November 2013
-
48
41
5 November 2013
-
48
42
6 November 2013
-
48
43
7 November 2013
-
48
44
8 November 2013
-
48
45
9 November 2013
-
48
46
10 November 2013
-
48
47
11 November 2013
-
48
48
12 November 2013
-
48
49
13 November 2013
-
48
50
14 November 2013
-
43
Jumlah ikan mati tidak diketahui karena tidak ada ikan mati yang mengapung
51
15 November 2013
-
43
Jumlah ikan mati tidak diketahui

Tabel 2. Pertumbuhan Ikan Nila
Minggu ke-
Bobot rata-rata ikan (gr/ekor)
Pertumbuhan ikan (gr)
Keterangan
1



2



3
0,1 gr/ekor
10 gr
Terlihat subur dan sehat
4
0,33 gr/ekor
16,5 gr
Terlihat subur dan sehat
5
0,76 gr/ekor
3,04 gr
Terlihat subur dan sehat
6
1,1 gr/ekor
4,40 gr
Terlihat subur dan sehat
7
2,2 gr/ekor
9,18 gr
Terlihat subur dan sehat
8



9



Pertumbuhan rata-rata
8,624 gr
Terlihat subur dan sehat
Berdasarkan hasil pengamatan di laboratorium selama kurang lebih 2 (dua) bulan ikan terlihat semakin hari semakin tumbuh besar karena diberikan pakan yang teratur dan perawatan yang teratur pula. Perlakuan pada benih ikan kelompok kami menggunakan metode dipping. Dalam satu hari ikan diberikan pakan sebanyak 2 (dua) kali di pagi dan sore hari, ikan diberi pakan pada pagi dan sore hari karena laju pengosongan lambungnya akan terjadi pada pagi sore hari. Pertumbuhan rata-rata pada setiap minggunya adalah kurang lebih seberat 3 gram.

Tabel 3. Kualitas Air Media Pemeliharaan
Kualitas air berperan penting dalam kelangsungan hidup ikan. Faktor yang sering diperhitungkan adalah oksigen terlarut yang merupakan faktor pembatas bagi ikan. Sebagaimana kita ketahui oksigen dibutuhkan bagi ikan untuk berespirasi. Selain itu suhu juga penting karena berpengaruh terhadap laju metabolisme ikan dan juga pH yang berpengaruh terhadap osmoregulasi pada ikan.
Indikator
Nilai
Oksigen Terlarut (ml/gram)
6,1
pH
7,7
Temperatur (oC)
26
Tabel kualitas air media pemeliharaan
Pada praktikum kali ini kualitas air cukup baik karena dikontrol secara berkala.Kadar oksigen terlarut (DO) air media pemeliharaan berada di sekitar 6,1. Nilai DO ini sangat dipengaruhi oleh sumber air yang berasal dari keran laboratorium fisiologi hewan air, FPIK, Unpad. pH air akuarium berada pada kisaran 7,77. pH air juga sangat dipengaruhi oleh sumber air seperti pada oksigen terlarut. pH 7,77 sudah cukup baik karena cenderung netral meskipun sedikit basa. pH air yang netral merupakan kondisi ideal bagi ikan untuk tumbuh dengan baik. Untuk suhu, sudah diatur dengan heater sehingga suhunya  relatif konstan di 26oC. Suhu tersebut merupakan suhu yang sesuai dan ideal bagi pertumbuhan ikan.
Pengontrolan kualitas air dilakukan dengan penyifonan secara teratur setiap hari jumat dan pada saat kondisi air mulai terlihat kotor. Air yang kotor disebabkan oleh sisa-sisa pakan dan juga akumulasi kotoran ikan. Baik sisa pakan maupun kotoran ikan merupakan bahan anorganik yang nantinya akan diurai oleh mikroba. Hal ini akan mengurangi kandungan oksigen dalam air karena mikroba membutuhkan oksigen dalam proses penguraian.
Nisbah Kelamin
Pada pengidentifikasian gonad yang dilakukan pada tanggal 15 November 2013, didapatkan hasil sebagai berikut.
Ikan Ke-
Jantan
Betina
Intermediate
1
ü


2

ü

3
ü


4
ü


5
ü


6
ü


7
ü


8


ü
Tabel identifikasi kelamin ikan nila
Metode identifikasi yang digunakan adalah dengan melihat gonad menggunakan mikroskop. Kalau terdapat serat berarti ikan tersebut jantan, kalau terdapat bintik-bintik berarti ikan tersebut betina. Sementara itu ada juga yang gonadnya terdapat bintik-bintik namun juga berserat. Hal ini berarti ikan tersebut intermediate.
Dengan hasil demikian dapat dikatakan bahwa praktikum maskulinisasi yang dilaksanakan kali ini berhasil karena mendapatkan 6 ikan jantan, 1 intermediate, dan hanya terdapat 1 betina. Persentase jantan yang dihasilkan sebesar 75%. Dengan demikian maskulinisasi dengan metode dipping/perendaman menggunakan hormon 17- £ metil testosteron dengan kadar 0,2  µg/liter cukup baik.


DAFTAR PUSTAKA


Tim Asisten genetika ikan. 2013.MASKULINISASI IKAN NILA (Oreochromis niloticus) MELALUI PEMBERIAN 17α- METILTESTOSTERON DENGAN METODE DIPPING. Universitas Padjajaran.Jatinangor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar